MMMMMMMMMMmmmmmmmm………………..
Sebenernya apa sih feminis itu ???????? Di zaman sekarang ini istilah feminis udah ga asing lagi di telinga kita. Kita ulas sedikit yu tentang feminis.
Dari mata kulaih etika dan filsafat komunikasi yang gw dapat di semester 4 kemaren olah salah satu dosen favorit gw, dosennya pernah bilang kaya gini niy, “ dalam bahasa Inggris itu kan sering ada kata-kata, chairman, post man, dan kata-kata lain yang berkhiran -man. Jarang loh atau mungkin hampir ga ada yang menyebut post woman, atau chairwoman. Mereka menyadari adanya diskriminasi yang dialami perempuan karena jenis kelaminnya.
Untuk informasi tambahan juga niy Sejak zaman dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang-keladi kejatuhan Adam dari sorga.
Pernah nonton dong atau baca novel Da Vinci Code karya Dan Brown yang “based true story itu”, dalam novelnya menceritakan kalau kaum perempuan yang seharusnya memegang kendali atas gereja kuno yang terkenal itu tidak diperkenankan karena ia perempuan (mudah-mudahan betul, bacanya 2 tahun yang lalu, hehe)
Inilah asal muasal timbul gerakan feminis dari para kaum wanita di Barat. Katanya, knapa harus laki-laki yang bisa menempatkan posisi di dunia kerja, apa salah apabila wanita yang ada di posisi itu?
Istilah feminis tentu saja datang dari Barat, Tapi sejarah feminis itu sendiri dimulai pada abad 18 oleh R.A Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightment oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan (ribet yah namanya). Perjuangan feminis sering disebut juga gelombang/wave dan banyak menimbulkan kontoversi.
Salah satu aliran Feminis yang gw pelajarin adalah feminis radikal, dan mempunyai 3 pikiran :
1. Perempuan mengalami penindasan dan yang menindas adalah laki-laki.
2. Perbedaan gender yang sering disebut Maskulin dan Feminin adalah diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.
3. Penindasan oleh laki-laki yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya.
Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, “Femme: ose être !” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos alias ‘Colombine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.
Pemikiran ini terus berkembang loh, dan karena inilah munculnya feminis lesbian. Ga hanya itu aj yang dihasilkan oleh aliran feminis, “The end of the institution of marriage is a necessary condition for the liberation of women” (Declaration of Feminism, 1971). Dari deklarasi tersebut, kaum feminis menganggap institusi pernikahan sebagai The Frakenstein Monster (dalam film horor: sesosok mayat manusia dihidupkan kembali dan memiliki rupa menyeramkan, sadis, bahkan menjijikkan) harus diperangi demi kebebasan perempuan.
Selain itu, Robin Morgan, Editor Ms. Magazine (majalah kebangsaan kaum feminis), mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan Sheila Cronin, tokoh terkemuka kaum feminis menganggap pernikahan tak ubah sebagai praktik perbudakan terhadap perempuan. Selain itu ada juga pernyataan:
“…Sheila Cronin, tokoh terkemuka kaum feminis menganggap pernikahan tak ubah sebagai praktik perbudakan terhadap perempuan.”
Feminis-feminis radikal menyebabkan munculnya kaum wanita yang menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.
Tapi itu semua gerakan feminis di Barat loh, untuk gerakan feminis di Indonesia ga kaya gitu, sangat berbeda sekali dengan gerakan emansipasi yang diprakarsai Kartini.